Senin, 16 Mei 2016

4 Tips Menulis Cerpen Dari Penulis Legendaris

 

METROPOLITAN.ID 

Membaca Cerpen 2 Kali

Saya sendiri membaca cerpen yang sama –selalu- dua kali.
Membaca pertama sebagai pembaca. Cerpen bisa memberi hiburan, melemaskan syaraf, mengasah kepekaan, menajamkan otak. Cukup sering saya membaca cerpen dengan tujuan hendak memicu syaraf geli (humor) dan rasa haru belaka –terharu itu sama pentingnya dengan tertawa-.
Membaca kedua saya lakukan dalam posisi sebagai penulis.
Bila saya tertarik membacanya, hampir pasti saya pun tertarik untuk bisa menulis cerpen seperti itu. Saya menelusuri kembali kata demi kata, kalimat, paragraf, dalam cerpen bersangkutan, mencoba menemukan keberadaan pola-pola tertentu yang menyusun struktur ceritanya.
Pada kesempatan re-kreasi beberapa hari lalu, saya mencoba menginventarisir ‘rahasia’ menulis cerpen para legenda (beberapa diantaranya adalah Nobelis).
Update : Terima kasih pada Maggie Tiojakin yang telah menerjemahkan cerpen-cerpen klasik ini ke dalam Bahasa Indonesia. Sekarang pembaca bisa memilikinya dalam bentuk buku Kumpulan Cerita Pendek Klasik Dunia Vol.1. Anda bisa mendapatkannya di toko buku Gramedia terdekat.
Saya membaca ulang, via Fiksi Lotus, antara lain cerpen-cerpen klasik dunia :
Just Lather, That’s All  karya penulis Kolumbia, Hernando Tellez (1908-1966);
The Necklace karya Guy de Maupasant (1850-1893);
Cat In The Rain Ernest Hemingway (1898 – 1961);
The Bet karya Anton Chekov (1860 -1904);
My Lord, The baby karya Rabindranath Tagore (1861 -1941);
God Sees The Truth, But Waits karya leo Tolstoy (1828 -1910); dan..
War karya Luigi Pirandello (1867 -1936).
Sedikitnya ada 4 ‘jurus’ yang mirip diantara mereka, dipergunakan dalam proses penulisan cerpen.

1. Pesan dalam Cerpen

Ide cerita kalau tidak berbasis karakter, akan berbasis plot.
Penulis termotivasi menulis cerpen karena menemukan sosok karakter yang menarik untuk diceritakan, lalu merangkai sebuah plot bagi karakter tersebut.
Atau sebuah alur cerita tiba-tiba muncul dalam kepala, kemudian penulis menciptakan sederet karakter untuk memerankan jalannya cerita.
Pembaca tidak bisa menebak, lagipula tidak penting bagi mereka, darimana penulis memulai menyusun sebuah cerita.
Lalu apa yang menyebabkan karya-karya cerpenis legendaris diatas tetap populer hingga kini ?
Jawabnya adalah cerpen mereka mampu menyampaikan pesan –moral cerita- yang kuat kepada pembaca.
Saya curiga, penulis kawakan selalu memulai menulis cerita dengan pertanyaan; Pesan apa yang hendak saya sampaikan melalui cerpen ini ?
Cat In The Rain berisi pesan tentang cinta setelah perkawinan hanya bisa diwujudkan melalui tindakan;
The Necklace memberi pesan gengsi ternyata jauh lebih mahal ketimbang perhiasan;
Just Lather, That’s All menitip pesan bahwa integritas setiap manusia hanya bisa dinilai atas komitmennya menjalankan tugas dan profesi masing-masing.
Hanya saja, memasukkan pesan kedalam cerita adalah hal lain. Butuh keterampilan –berbeda tiap penulis- untuk itu.
Contoh buruk penyampaian moral cerita bisa anda lihat pada tayangan sinetron religi. Karakter bersorban, bergamis, tiba-tiba muncul menyitir isi kitab suci dihadapan karakter antagonis yang lansung bertobat setelah mendengar nasehat itu.
Moral cerita bukan dialog (ucapan karakter) yang berisi ayat-ayat suci, nasehat-nasehat kebajikan (hindari kejaharan dan perbanyak kebaikan).
Pesan cerita tidak harfiah, atau muncul tersurat berbentuk teks dalam cerita.
Moral cerita adalah kesimpulan yang ditarik dalam persepsi pembaca begitu selesai membaca.
Moral cerita adalah ruh, spirit, sosok imajiner yang tersebar secara merata, utuh, pada semua elemen cerita; Karakter, setting, konflik & resolusi.
Bahasa adalah sosok fisik cerita, moral/pesan adalah sosok psikisnya. Moral ada tapi tidak teraba.

2. Cerpen itu Terus Terang

Cerpen dikategorikan sebagai prosa. Tepatnya prosa naratif fiktif.
Prosa berasal dari bahasa latin ‘prosa’ yang artinya ‘terus terang’, dimana bahasa yang dipakai lebih sesuai dengan arti leksikalnya.
Cat In The Rain karya Heminway contohnya, Mustahil menemukan kalimat puitis atau multitafsir didalamnya.
Kalimatnya mengalir lugas, sederhana, dan tidak bertendensi menyembunyikan makna lain diluar arti leksikalnya.Sebagai pembaca, kita ingin membaca cerita, yang meski fiktif, tidak beda jauh dengan kenyataan yang kita temui.
Pembaca ingin fokus pada alur cerita, tidak mau direpotkan lagi dengan keharusan menafsirkan makna tersembunyi dibalik teks.
Penyair yang beralih menjadi cerpenis, sering didapati melakukan ‘manipulasi’ semacam ini.
Jadi, pakailah bahasa terus terang yang umum dipahami khalayak.

3. Dialog lebih banyak

Porsi dialog berbanding narasi dalam cerpen-cerpen rujukan diatas berkisar 80 % : 20 %.
Pembaca menyukai karakter berdialog dengan sesamanya. Pembaca merasa dilibatkan dalam cerita.
Cerita lebih hidup dengan dialog, hingga membaca menjadi pengalaman yang mirip dengan menonton drama atau sinema.
Narasi umumnya diselipkan sekedar pengantar transisi antar adegan.
Pembaca bisa menjadi pasif oleh sebab kebanyakan narasi, dimana kisah melulu diceritakan oleh narator (penulis).
Penulis yang baik ibarat sutradara dibelakang layar, tidak boleh berjejak didalam cerita. Biarkan karakter berinteraksi dengan pembaca lewat dialog-dialognya.

4. Twist Ending

Ini resep menulis yang tak pernah basi. Sebuah kejutan, akhir yang tak terduga.
Coba anda ingat-ingat kembali cerpen yang pernah dibaca. Dua cerpen teratas yang terbersit hampir pasti diakhiri kejutan.
The Necklace karya Guy de Maupasant, contoh yang bagus bagaimana kejutan yang sempurna mengakhiri sebuah cerpen.
Sempurna karena pembaca tidak bisa menduga namun menerima kejutan itu masuk diakal, tidak klise, apalagi diada-adakan.
Tanpa kejutan diakhir cerita, ibarat sayur tak bergaram.
Hindari akhir yang datar, apalagi mengambang. Pembaca menyukai kejutan; ‘ oh, ternyata..

Selanjutnya..

Empat cara penulisan cerpen diatas adalah oleh-oleh yang kubawa dari rekreasi saya membaca kembali cerpencerpen klasik dunia.
Bagaimana dengan anda ?
Kapan terakhir kali anda membaca cerpen dari masa lalu ? Apa yang anda pelajari dari mereka ?

Membaca Cerpen 2 Kali

Saya sendiri membaca cerpen yang sama –selalu- dua kali.
Membaca pertama sebagai pembaca. Cerpen bisa memberi hiburan, melemaskan syaraf, mengasah kepekaan, menajamkan otak. Cukup sering saya membaca cerpen dengan tujuan hendak memicu syaraf geli (humor) dan rasa haru belaka –terharu itu sama pentingnya dengan tertawa-.
Membaca kedua saya lakukan dalam posisi sebagai penulis.
Bila saya tertarik membacanya, hampir pasti saya pun tertarik untuk bisa menulis cerpen seperti itu. Saya menelusuri kembali kata demi kata, kalimat, paragraf, dalam cerpen bersangkutan, mencoba menemukan keberadaan pola-pola tertentu yang menyusun struktur ceritanya.
Pada kesempatan re-kreasi beberapa hari lalu, saya mencoba menginventarisir ‘rahasia’ menulis cerpen para legenda (beberapa diantaranya adalah Nobelis).
Update : Terima kasih pada Maggie Tiojakin yang telah menerjemahkan cerpen-cerpen klasik ini ke dalam Bahasa Indonesia. Sekarang pembaca bisa memilikinya dalam bentuk buku Kumpulan Cerita Pendek Klasik Dunia Vol.1. Anda bisa mendapatkannya di toko buku Gramedia terdekat.
Saya membaca ulang, via Fiksi Lotus, antara lain cerpen-cerpen klasik dunia :
Just Lather, That’s All  karya penulis Kolumbia, Hernando Tellez (1908-1966);
The Necklace karya Guy de Maupasant (1850-1893);
Cat In The Rain Ernest Hemingway (1898 – 1961);
The Bet karya Anton Chekov (1860 -1904);
My Lord, The baby karya Rabindranath Tagore (1861 -1941);
God Sees The Truth, But Waits karya leo Tolstoy (1828 -1910); dan..
War karya Luigi Pirandello (1867 -1936).
Sedikitnya ada 4 ‘jurus’ yang mirip diantara mereka, dipergunakan dalam proses penulisan cerpen.

1. Pesan dalam Cerpen

Ide cerita kalau tidak berbasis karakter, akan berbasis plot.
Penulis termotivasi menulis cerpen karena menemukan sosok karakter yang menarik untuk diceritakan, lalu merangkai sebuah plot bagi karakter tersebut.
Atau sebuah alur cerita tiba-tiba muncul dalam kepala, kemudian penulis menciptakan sederet karakter untuk memerankan jalannya cerita.
Pembaca tidak bisa menebak, lagipula tidak penting bagi mereka, darimana penulis memulai menyusun sebuah cerita.
Lalu apa yang menyebabkan karya-karya cerpenis legendaris diatas tetap populer hingga kini ?
Jawabnya adalah cerpen mereka mampu menyampaikan pesan –moral cerita- yang kuat kepada pembaca.
Saya curiga, penulis kawakan selalu memulai menulis cerita dengan pertanyaan; Pesan apa yang hendak saya sampaikan melalui cerpen ini ?
Cat In The Rain berisi pesan tentang cinta setelah perkawinan hanya bisa diwujudkan melalui tindakan;
The Necklace memberi pesan gengsi ternyata jauh lebih mahal ketimbang perhiasan;
Just Lather, That’s All menitip pesan bahwa integritas setiap manusia hanya bisa dinilai atas komitmennya menjalankan tugas dan profesi masing-masing.
Hanya saja, memasukkan pesan kedalam cerita adalah hal lain. Butuh keterampilan –berbeda tiap penulis- untuk itu.
Contoh buruk penyampaian moral cerita bisa anda lihat pada tayangan sinetron religi. Karakter bersorban, bergamis, tiba-tiba muncul menyitir isi kitab suci dihadapan karakter antagonis yang lansung bertobat setelah mendengar nasehat itu.
Moral cerita bukan dialog (ucapan karakter) yang berisi ayat-ayat suci, nasehat-nasehat kebajikan (hindari kejaharan dan perbanyak kebaikan).
Pesan cerita tidak harfiah, atau muncul tersurat berbentuk teks dalam cerita.
Moral cerita adalah kesimpulan yang ditarik dalam persepsi pembaca begitu selesai membaca.
Moral cerita adalah ruh, spirit, sosok imajiner yang tersebar secara merata, utuh, pada semua elemen cerita; Karakter, setting, konflik & resolusi.
Bahasa adalah sosok fisik cerita, moral/pesan adalah sosok psikisnya. Moral ada tapi tidak teraba.

2. Cerpen itu Terus Terang

Cerpen dikategorikan sebagai prosa. Tepatnya prosa naratif fiktif.
Prosa berasal dari bahasa latin ‘prosa’ yang artinya ‘terus terang’, dimana bahasa yang dipakai lebih sesuai dengan arti leksikalnya.
Cat In The Rain karya Heminway contohnya, Mustahil menemukan kalimat puitis atau multitafsir didalamnya.
Kalimatnya mengalir lugas, sederhana, dan tidak bertendensi menyembunyikan makna lain diluar arti leksikalnya.Sebagai pembaca, kita ingin membaca cerita, yang meski fiktif, tidak beda jauh dengan kenyataan yang kita temui.
Pembaca ingin fokus pada alur cerita, tidak mau direpotkan lagi dengan keharusan menafsirkan makna tersembunyi dibalik teks.
Penyair yang beralih menjadi cerpenis, sering didapati melakukan ‘manipulasi’ semacam ini.
Jadi, pakailah bahasa terus terang yang umum dipahami khalayak.

3. Dialog lebih banyak

Porsi dialog berbanding narasi dalam cerpen-cerpen rujukan diatas berkisar 80 % : 20 %.
Pembaca menyukai karakter berdialog dengan sesamanya. Pembaca merasa dilibatkan dalam cerita.
Cerita lebih hidup dengan dialog, hingga membaca menjadi pengalaman yang mirip dengan menonton drama atau sinema.
Narasi umumnya diselipkan sekedar pengantar transisi antar adegan.
Pembaca bisa menjadi pasif oleh sebab kebanyakan narasi, dimana kisah melulu diceritakan oleh narator (penulis).
Penulis yang baik ibarat sutradara dibelakang layar, tidak boleh berjejak didalam cerita. Biarkan karakter berinteraksi dengan pembaca lewat dialog-dialognya.

4. Twist Ending

Ini resep menulis yang tak pernah basi. Sebuah kejutan, akhir yang tak terduga.
Coba anda ingat-ingat kembali cerpen yang pernah dibaca. Dua cerpen teratas yang terbersit hampir pasti diakhiri kejutan.
The Necklace karya Guy de Maupasant, contoh yang bagus bagaimana kejutan yang sempurna mengakhiri sebuah cerpen.
Sempurna karena pembaca tidak bisa menduga namun menerima kejutan itu masuk diakal, tidak klise, apalagi diada-adakan.
Tanpa kejutan diakhir cerita, ibarat sayur tak bergaram.
Hindari akhir yang datar, apalagi mengambang. Pembaca menyukai kejutan; ‘ oh, ternyata..

Selanjutnya..

Empat cara penulisan cerpen diatas adalah oleh-oleh yang kubawa dari rekreasi saya membaca kembali cerpencerpen klasik dunia.
Bagaimana dengan anda ?
Kapan terakhir kali anda membaca cerpen dari masa lalu ? Apa yang anda pelajari dari mereka ?
(http://indonovel.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar